Rel Kerinduan ~ Adinda Rizqiyatul Hasanah
Pagi itu menunjukan pukul 07:00, aku berjalan menyusuri jalan yang dingin ditemani secangkir kopi lengkap dengan penutupnya yang berwarna putih menuju stasiun kereta untuk menjalani kewajiban sebagai mahasiswi di salah satu universitas terkemuka di kota Yogyakarta.
“Akhirnya sampai juga,” batinku sambil menghela nafas berat.
Aku pun masuk ke dalam bangunan stasiun untuk check-in ticket, sontak suasana dingin dari hembusan pendingin ruangan terasa menghampiri tubuhku. Aku yang memang tak kuat dengan suhu dingin dalam hati bergumam, “Dasar manusia-manusia aneh, sepagi ini udah nyalain AC banyak gini, nggak tahu orang kedinginan apa.”
Selesai dengan urusan check-in, aku pun menunggu kedatangan kereta di salah satu sudut ruang tunggu. Tak lama, terdengar pengumuman dari petugas bahwa kereta yang kutumpangi akan segera tiba dari arah timur, seluruh penumpang pun diminta bersiap-siap untuk naik. Bel dan gemuruh roda besi yang bergesekan dengan rel kereta pun terdengar, pertanda kereta yang kunanti benar-benar telah tiba. Dalam hati aku terus berdoa semoga semuanya baik-baik saja.
Tepat ketika kereta berhenti dengan sempurna, aku segera naik dan mencari tempat duduk sesuai petunjuk yang tertera di tiketku. Dalam proses pencarian tersebut, tiba-tiba mataku menangkap kehadiran seseorang yang tak asing, seseorang yang selama ini kurindukan dan begitu lama tak pernah kujumpai lagi. Tak ingin larut dengan perasaan, aku kembali fokus mencari tempat duduk sambil membatin, “Udahlah Din, kamu pasti salah orang.”
Saat tempat dudukku berhasil kutemui, jantungku kembali berdeguk kencang. Sosok yang tadi kulihat, ternyata duduk tepat di sampingku. Aku mencoba mengucek-ngucek mata, berharap ini hanya mimpi, namun ternyata semua ini nyata terjadi. Diluar kontrol, bibirku menyebutkan satu nama, “Rezka?”
“Dina … ini kamu Din?” Ia membalas sapaanku dengan wajah yang tak kalah terkejutnya.
Pandangan kami pun bertemu, membuat dunia seolah berhenti. Mata yang masih sama seperti terakhir kupandangi tiga tahun lalu, membuatku sejenak terlempar ke sebuah lorong waktu. Entah berapa lama kami terdiam dan hanya saling menatap, hingga seorang penumpang kereta di belakangku terdengar mengomel karena aku menghalangi jalan. Dengan wajah yang mungkin memerah karena perasaan campur aduk antara malu, kesal, dan bahagia aku pun segera menduduki kursi tepat di samping Rezka.
Kereta mulai bergerak, namun belum sepatah kata pun terlontar dari bibir kami berdua, membuat suasana di antara kami benar-benar terasa sangat canggung. Aku berusaha mengalihkan perhatian dengan melihat pemandangan di luar kereta yang mulai melaju cepat.
“Kamu … apa kabar Din?” Kudengar ia mencoba membuka percakapan dengan nada lirih.
“Hmm, aku … baik. Lama ya kita nggak ketemu,” jawabku singkat dan hanya dibalas anggukan olehnya.
Sejenak kebisuan kembali tercipta, seolah mulut kami terkunci dan tak tahu cara membukanya, padahal dalam hati begitu bahagia dan bersyukur dengan anugrah ini. Tak ingin terus terperangkap dalam suasana ini, aku berinisiatif memancing percakapan, “Oh iya, kamu sendiri gimana kabarnya, Rez? Kamu kelihatannya nggak banyak berubah, masih sama kayak tiga tahun lalu.”
“Aku baik, tapi nggak setelah kita berpisah dulu.” Jawaban yang membuatku terkejut sekaligus berbunga-bunga.
Keheningan kembali tercipta, Rezka terlihat ikut mengalihkan perhatian ke sisi lain kereta, sementara aku mencoba menenangkan diri dengan menyeruput kopi yang tadi kubawa.
“Udah lama banget ya ternyata, Din. Rasanya baru kemarin kita bercanda bareng, ketawa sama-sama, eh udah tiga tahun aja. Aku juga kangen sama bunda, gimana kabarnya?” Rezka sepertinya mulai rileks dengan pertemuan kami, dan kembali menatap mataku.
“Bunda … baik. Dia juga masih sering nanyain kamu, kangen katanya,” jawabku sambil menatap balik matanya.
“Oh ya, salam sama bunda. Kamu gimana kabarnya … eh maksudnya sekarang sibuk apa?” Rezka terlihat salah tingkah dengan menggaruk-garuk kepalanya.
“Aku sekarang kuliah, di Jogja. Kamu sendiri dengar-dengar udah kerja?”
“Alhamdulillah, ya lumayanlah gajinya. Kok kamu bisa tahu, kamu punya mata-mata ya?” tanyanya sambil tersenyum, membuatku jadi salah tingkah juga.
“Din, aku boleh ngomong sesuatu nggak?” tanyanya kembali.
“Mau nanya aja pake minta izin, kamu mau kayang juga no problem sih.” Aku menjawabnya dengan tersnyum sambil mengalihkan pandanganku ke arah jendela kereta.
“Bohong banget rasanya kalau aku gak kangen kamu, Din. Setelah perpisahan itu, bohong kalau aku nggak merindukanmu ketika malam datang. Bohong banget kalau teman-temanku tak menanyakan tentangmu lagi,” ucapnya dengan penuh emosi sambil menundukkan pandangan berusaha menutupi matanya yang mulai berkaca-kaca, sementara aku hanya bisa ikut tertunduk mendengarkan pengakuannya.
“Aku ngerti perasaan kamu, Rez. Aku yang dulu ninggalin kamu, juga masih merasakan hal yang sama. Banyak cowo yang hadir dan berusaha masuk dalam hidupku, tapi semuanya kutolak. Semua itu karena satu alasan, rasa ini masih buat kamu, Rez. Dalam doa, aku selalu berharap sama Tuhan supaya kita bisa dipertemukan lagi, dan hari ini Tuhan mengabulkan itu semua, Rez.” Aku tak lagi bisa menahan beban dalam dada, membuatku mengakui semuanya sambil terisak.
“Hei … cantik. Kamu nggak boleh nangis, nanti jelek loh. Tiga tahun nggak ketemu, ternyata kita masih punya rasa yang sama, lucu ya? Aku juga selalu mendoakan kamu, dimanapun kamu berada semoga selalu dipertemukan dengan orang baik.” Rezka mengusap lembut air mata yang mulai membasahi pipiku.
Momen yang begitu membahagiakan untukku, ingin rasanya waktu kuhentikan agar semua ini tak berlalu. Sambil tersenyum aku bertanya, “Kamu percaya nggak, Rez?”
“Soal apa?” tanyanya penasaran.
“Tentang tulang rusuk. Katanya tulang rusuk akan selalu kembali pada pemiliknya,” jawabku sambil memperbaiki posisi duduk.
“Hmmm, percaya nggak percaya sih. Tapi, aku akan percaya kalau tulang rusukku itu kamu,” tukasnya seraya tersenyum jahil.
“Jangan terlalu berharap sama mahluk, Rez, karena kamu pasti akan sakit akhirnya. Bisa saja aku bukan tulang rusukmu, Rez,” ucapku lirih membuat Rezka tiba-tiba menunduk sedih.
“Hey, nggak boleh sedih dong. Katanya mau jadi jagoan penyelamat bumi biar bisa nyelamatin aku.” Ucapan yang berhasil membuat Rezka tersenyum, dan menghangatkan kembali obrolan kami.
Waktu pun berlalu, setelah mengobrolkan banyak hal tentang perjalanan kami, semua kebersamaan kami, tawa yang kami lontarkan ketika bersama, semuanya akan menjadi kenangan yang kurindukan. Perjalanan pun terasa begitu cepat, kereta akan sampai pada tujuannya. Suara announcer merdu telah terlantun, pertanda pertemuan kami hampir usai dimakan waktu.
“Din, rasanya cepat banget ya. Aku masih kangen sama kamu.” Rezka terlihat tak rela akan perpisahan yang akan kembali kami lalui.
“Rez, kalau kamu memang takdirku, aku pasti akan kembali. Serahkan semuanya sama Tuhan,” jawabku dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Din, aku mohon jangan kasi aku harapan lagi, itu sakit ….”
“Rindu itu memang sakit, Rez, apalagi mengikhlaskan seseorang yang tak mau kita lepaskan. Itu benar-benar sakit, Rez. Tapi kita harus belajar, dan pada akhirnya akan terbiasa,” balasku dan Rezka mengiyakan dengan anggukan ragu.
Turun dari kereta, Rezka terus bersamaku. Ia benar-benar terlihat tak rela dengan skenario perpisahan kami. Ia terus menggenggam erat tanganku, seolah aku akan lenyap ketika ia lengah sedetik saja. Aku pun demikian, tak rela jika harus kembali berpisah dengan Rezka, namun takdir tak bisa kami edit begitu saja sesuai kehendak hati.
Ketika kami telah berada di gerbang stasiun, tiba-tiba Rezka memelukku dan berbisik, “Berjanjilah cantik, kamu takkan pernah melupakanku.”
“Sudah kubilang … kalau memang aku terlahir untukmu, aku pasti akan kembali, kapanpun itu, Sayang.” Aku membalas pelukannya erat.
“Sudah ya, aku harus pergi sekarang.” Aku melepaskan pelukannya dan menatapnya seraya tersenyum.
“Sampai kapanpun, aku akan mencintaimu, Din, sampai kapanpun.” Dia mengangkat jari kelingkingnya, dan aku menyambut jari kelingkingnya, janji kelingking yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.
Aku mulai melangkah pergi menuju kendaraan umum yang akan mengantarkanku ke tujuan berikutnya. Ketika kumenoleh ke belakang, ternyata Rezka masih setia di sana. Saat menaiki kendaraan umum, aku melambaikan tangan untuk terakhir kalinya pada Rezka yang terlihat tersenyum dan membalas lambaian tanganku.
“Dina Putriana Mahendra! Aku akan mencintaimu selamanya!” teriak Rezka yang membuatku terkejut namun bahagia.
“Aku berharap, semoga aku benar-benar tulang rusukmu, Rezka.” Doa yang kemudian kupanjatkan dalam hati.
=====
Adinda Rizqiyatul Hasanah lahir di Probolinggo pada 19 Februari 2007. Saat ini sedang menempuh pendidikan di MAN 2 Probolinggo. Mempunyai hobi menggambar dan mulai mendalami dunia kepenulisan di tahun ini.
Pernah meraih peringkat 3 nasional pada lomba menulis 750 kata yang diselenggarakan oleh UNESA pada 2022, serta mendapat 2 medali perunggu di bidang PAI dan Biologi juga di tahun 2022. Salah satu karyanya yang masih belum selesai adalah Aku,Kamu & Waktu bisa di baca di aplikasi orange. Hal yang paling ia benci adalah mengiklaskan, khususnya seseorang yang tak bisa ia temui untuk kedua kalinya. Pembaca bisa menghubungi melalui:
Ig pribadi:@dndawhy__
Ig gambar:@dindarizq_19
Username wp:@penghunibumiiiikk